Setelah hegemoni kekuatan bipolar (Amerika dan Rusia) nyaris tak tentu arah, dan sekarang hadir kekuatan multi polar , dengan adanya China dan Jepang sebagai kekuatan independen, realitas krisis finansial global tidak dapat terelakan. Stimulus ekonomi sebuah negara mendadak hangat diperbincangkan. Ya dunia saat ini sedang berubah, yang terjadi saat ini terlihat dan terasa begitu gersang. Mata sebagian bangsa-bangsa didunia “terbelalak” ternyata kapitalisme dan dominasi sektor spekulatif bukan sebuah jawaban untuk kenyamananan dan kemakmuran bumi ini.

Di Tanah Air Krisis Finansial Global berdampak pada “tsunami” Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara itu krisis kaum pekerja/buruh sendiri di tanah air, sudah berlangsung sejak tahun 1992, disusul tahun 1997 perusahaan banyak yang gulung tikar.

Diakui atau tidak globalisasi telah merenggut banyak korban terutama pekerja dan buruh akibat dari kalah bersaingnya industri di Tanah Air oleh produk-produk impor dari luar negeri, seperti Cina dan Amerika. Ya, lebih parah lagi setelah terjadinya Krisis Finansial Global, sehingga banyak kaum pekerja/buruh yang terkena dan terancam pemutusan hubungan Kerja (PHK) hal ini tentu menambah deretan angka-angka pengangguran di tanah air.

Lima agenda nasional untuk perbaikan Bangsa yang hangat dibicarakan dari mulai masalah kemiskinan, masalah kebodohan, masalah ketidak adilan, masalah korupsi,dan melepaskan diri dari ketergantungan asing, walau demikian berat, tetap harus dijalankan dan sifatnya mendesak. Ini tentu tetap menjadi tugas kita bersama untuk menyelesaiaknnya, tentunya dengan cara yang cergas (cerdas dan tegas). Semua ini tidak mungkin bisa diselesaikan oleh pemimpin biasa-biasa, kita memerlukan pemimpin yang luar biasa, kita memerlukan pemimpin bertenaga keras, pemimpin motivator seperti Soekarno Muda, Syahrir Muda, seperti Hugo Chavez, Evo Morales, atau mungkin seperti (mudah-mudahan)Barack Obama di AS.

Evo Morales dan Selamat Jalan Kapitalisme
Untuk melepaskan diri dari ketergantungan asing dan kapitalis tidaklah semudah membalikan telapak tangan, seberapapun besar dan kuatnya kampanye “neo sosialisme”, kampanye “ekonomi kerakyatan” yang diteriakakan partai-partai dan tokoh-tokoh yang sedang berlaga dalam pemilu 2009, tetap saja di saatnya nanti memerlukan pembuktian dan pengorbanan yang sangat luar biasa berat, sebab kapitalisme dan ketergantungan kita kepada asing, terlanjur dan tanpa disadari telah menjadi satu kesatuan dan mendominasi sampai kepada kehidupan kita yang paling pribadi dalam dalam sekali!

Sebuah catatan dalam Kongres Kaum Muda Jawa Barat 28 Oktober 2008 lalu yang mana Penulis juga berkesempatan menjadi Orator, Radhar Panca Dahana (Sastrawan, Dosen Universitas Indonesia) mengatakan kapitalisme dan materialisme saat ini adalah sebuah sistim yng mengijinkan sekelompok kecil manusia di dunia ini tidak lebih dari 0,0001% dari masyarakat didunia ini untuk meiliki kekayaan 515 Triliun Dolar, itu sama dengan 60 kali lipat PDB Amerika Serikat yang tertinggi di dunia, sama dengan 10 kali lipat dari PDB dunia, sama dengan 1000 kali lipat PDB Indonesia.

Dan kekuatan kapital itu yang telah menentukan jalannya hidup kita, jalannya di dunia, tidak hnya menentukan apa isi lemari kita, apa isi dompet kita, apa isi pikiran kita,juga menentukan siapa yang menjadi menteri keuangan kita bahkan barangkali menentukan siapa yang akan menjadi presiden kita! Demikian orasi Bung Radhar.

Kita patut terinspirasi dan coba mengacu terhadap keberanian Evo Morales dengan gerakan sosialisme-nya ( Movimiento al Socialismo) terlebih setelah memenangkan referendum Bolivia 25 Januari 2009 yang mencapai angka setuju 65 persen.

Evo Morales perlahan tapi pasti ia sadar membangun otonomi, bukannya menyerahkan nasib kepada orang, apalagi negara lain(Robert Bala, Kompas 12/2/09).

Ya, rakyat telah disadarkan dan melakukan penolakan secara aklamatif terhadap kapitalisme, kebebasan tanpa batas adalah bagai menggali kubur diri sendiri. Salah satu hal yang patut menjadi acuan dari Bolivia adalah keberanian Evo Morales berpihak pada rakyatnya, ia tidak menyandarkan nasib bangsa kepada ketidakpastian ekonomi global! Dengan tegas ia mengatakan “selamat Jalan Kapitalisme”

Kembali Ke Sektor Riil
Bagaimana dengan kita? Sudah saatnya kita juga berani meninggalkan dominasi iklim spekulatif. Jalan yang paling mungkian dan cerdas adalah kembali menguatkan sektor riil, kita tinggalkan dominasi model ekonomi yang bersifat “di atas kertas”, virtual dan “imaterial” yang oleh Tom Wolfe (1987) ditakdirkan akan hancur!

Bukankah dalam sistem ekonomi riil, dimana ada pihak memproduksi dan berdagang dengan jujur dengan tujuan untuk berkontribusi bagi kekayaan masyarakat (rakyat) secara keseluruhan. Dan secara sederhana sektor riil melakukan perputaran kekayaan yang dihasilkan dan diperdagangkan secara nyata, barang-barang dan layananan adalah nyata, dan dijual di pasar-pasar nyata dengan menggunakan mata uang nyata.

Sektor riil baik yang Informal dan Formal (prosedur akuntansi), sangatlah penting untuk diperioritaskan. Seperti kita ketahui,sektor informal, bagian dari ekonomi dimana transaksi terdiri dari perdagangan di jalanan, produksi petani skala kecil, pekerja di tingkat domestik untuk mempertahankan hidup sehari-hari, yang tidak dimasukan dalam metoda akuntasi secara resmi; sehingga tidak masuk dalam GNP/GDP. Sedangkan sektor formal, adalah dimana barang dan jasa diproduksi dan diperdagangkan, yang dibukukan dalam prosedur akuntasi resmi, merupakan bagian yang tampak dari ekonomi sektor riil, sehingga masuk dalam GNP/GDP.

Sektor riil-lah yang menggerakan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya, yang tidak manipulatif dan lebih fair terhadap para pelaku dan masyarakat pada umumnya. Tentu dalam menjalankan sektor riil tersebut, diperlukan sistem atau perangkat penunjang, sehingga mekanisme sektor riil tersebut dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Misalkan Sektor permodalan, perdagangan, dll.

Sepintas, tidak ada yang salah system penunjang tersebut, memang secara konseptual diperlukan, tetapi dimana letak permasalahannya?

Pertama, sektor penunjang tersebut tidak konsisten berperan sebagai penunjang semata; tetapi yang lebih dominan mereka seolah-olah sistem terpisah, yang menjadi bisnis yang berdiri sendiri. Misalkan, jual beli saham yang bersifat spekulatif, perdagangan mata uang (valas), dll.

Kedua, sektor penunjang atau jasa, karena sesuatu hal, apakah karena regulasi, hukum supply-demand, dsb, cenderung mendapatkan bagian keuntungan yang berlebih dibanding sektor-sektor yang benar-benar menghasilkan produk riil.

Akibat dari masalah di atas, kesenjangan antara sektor riil dan non riil adalah sudah sangat besar, bahkan sekarang ini diperkirakan kapitalisasi dalam sektor riil hanya 1/10 dari sector non riil. Dampak selanjutnya adalah, bahwa sektor non riil akan mudah mendikte keberadaan sektor riil, yang pada akhirnya akan berdampak kepada stabilitas masyarakat termasuk Negara.

Data dari United Nation Development Programme(UNDP:1960-1995) menggambarkan dampak yang nyata dari permasalahan di atas yaitu berupa kesenjangan kekayaan dalam suatu Negara semakin lama semakin lebar, begitu juga kesenjangan anatara Negara kaya dan miskin juga semakin melebar. Kita lihat data sebagai berikut :

Pertama, perbedaan GNP (Gross National Product) antara Negara dengan kekayaan terbesar kelima di dunia dibanding Negara dengan kemiskinan terbesar kelima makin melebar yakni pada tahun 1960 adalah 30 : 1, tahun 1990 adalah 60 : 1 dan pada tahun 1995 adalah 74 : 1.

Kedua, masyarakat yang tinggal di Negara-negara dengan pendapatan tertinggi kelima memiliki 86% dari GDP dunia, sementara itu lapisan terbawah kelima hanya menerima 1%.

Ketiga, separuh dari penduduk dunia hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 2 perhari.

Disamping itu, karakteristik sektor riil pada dasarnya menghendaki lingkungan yang cenderung stabil, tetapi sektor penunjang yang sudah berubah fungsi kearah spekulatif, bisa hidup kalau lingkungan yang tidak stabil.Pada awalnya mereka bermain dalam ketidakstabilan, artinya mengikuti pergerakan dari perubahan-perubahan tersebut; tetapi patut dicurigai bahwa mereka terutama pemain utama “Sang Bandar”, ketidakstabilan itulah yang mereka berusaha untuk mengaturnya.

Nah di sinilah letak benang kusutnya yan benar-benar khusut!Mengapa? Karena dalam permainan yang spekulatif seperti ini, ilmunya sederhana yakni beli pada saat harga rendah dan jual pada saat harga tinggi. Sehingga “sang Bandar “ akan berusaha mengendalikan kapan harga tinggi dan kapan harga rendah, sehingga dia akan mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi.

Caranya, dengan memanfaatkan faktor-faktor termasuk pemainnya yang berfungsi menggerakan harga yang ke positip (naik) dan dan factor-faktor termasuk pemainnya yang berfungsi menggerakan harga yang ke negatif (turun). Bahkan, yang dimanfaatkan tersebut bisa-bisa tidak menyadari keberadaannya, kalau sedang dimanfaatkan dalam permainan “sang Bandar”.

Tidak tertutup kemungkinan, konflik atau perang dll, masuk dalam kendali perhitungan “Sang Bandar”, yang dimanfaatkan sebagai salah satu mesin penggerak permainan mereka. Nah, kalau sudah gamblang seperti ini, apa yang harus kita lakukan?

Idealnya adalah berusaha semaksimal mungkin menghindar untuk tidak masuk dalam permainan mereka.Memang berat, dikarenakan kita sudah termakan propaganda mereka bahwa negara yang mau maju harus ikut mereka, bahkan bisa jadi elit-elit tertentu mendapatkan keuntungan besar dari permainan mereka, atau mencari jalan baru dengan semangat kemandirian dan kesederhanaan, maukah kita?Dalam hal ini, semua pihak terutama pemerintah tentu sangat bertanggungjawab dan wajib, untuk lebih memfokuskan kepada pergerakan ekonomi masyarakat lewat sektor riil, agar dunia tidak terus menerus menjadi gersang!

Penulis, Dosen Ilmu Ekonomi & Finansial Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Telkom dan Ketua Forum Komunikasi Sosial Merah Putih Bersatu.
source: